Oleh: Muzakkir Djabir / Ketua Umum PB HMI (MPO) 2005-2007, Diaspora Indonesia di Amerika Serikat
Bulan Oktober baru saja berlalu, masa dimana kita di antar menjejakkan kembali, pada sejarah yang tidak saja heroik, tetapi juga sangat visioner. Betapa tidak, anak-anak muda yang tercerahkan itu, meski berasal dari pelbagai ragam suku, bahasa dan agama, berhasil membangunkan kesadaran, bahwa betapa pentingnya mempersatukan potensi seluruh anak bangsa. Bersatu merupakan keniscayaan untuk terbebas dari kolonialisme. Kekuataan yang berserak dan tidak terkonsolidasi akan memperlemah daya juang.
Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, telah melintasi jalan berliku dan penuh tantangan. Spirit nasionalisme yang terinspirasi dari Gerakan Budi Utomo tahun 1908. Kristalisasi semangat Sumpah Pemuda semakin menulari pikiran tokoh-tokoh pemuda seperti; M. Tabrani, Muhammad Yamin, Sumarto, Suwarso, Bahder Johan, Jamaludin, Sarbaini, Sanusi Pane, Paul Pinantoan, Hamami dan Yan Toule Soulehuwiy. Setelah mereka membaca propaganda dan gagasan pembebasan yang dimuat di Majalah “Indonesia Merdeka” besutan para pelajar Indonesia yang tergabung di dalam organisasi Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, Majalah ini secara berkala dikirimkan ke organisasi kepemudaan antara lain; Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak dan Sekar Rukun. Edisi perdananya terbit pada Februari 1925, menuliskan tentang tujuan berdirinya gerakan Perhimpunan Indonesia yakni, berikhtiar memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia. Dan untuk dapat mengerakkan perjuangan kemerdekaan, maka diperlukan persatuan nasional. Hanya dengan persatuan yang kokoh, bangsa Indonesia mampu menghadapi kaum penjajah.
Api kesadaran kaum muda kian menyala, mereka menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 30 April – 02 Mei 1926, setelah melewati debat panjang, kongres melalui Panitia Perumus yang terdiri dari M. Tabrani, Jamaludin, Sanusi Pane dan Muhammad Yamin, menghasilkan “Ikrar Pemuda” yang berbunyi ; Pertama, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia. Kedua, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia. Ketiga, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoen, Bahasa Melajoe. Poin ketiga dalam rumusan Ikrar Pemuda ini, melahirkan perdebatan serius di internal Panitia Perumus. Muhammad Yamin bersikukuh tetap mengunakan kata Melayu dengan argumentasi bahwa mayoritas penduduk Hindia Belanda berbahasa Melayu. Disamping itu, kongres juga belum menemukan atau menyepakati suatu istilah untuk penyebutan bahasa nasional.
Selang dua tahun kemudian, atas inisiatif Sugondo Joyopuspito selaku pelopor dan pemimpin Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) menghelat Kongres Pemuda Indonesia Ke-2 pada 27-28 Oktober 1928, kongres diikuti perwakilan organisasi kepemudaan yaitu, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Indonesia, Pemuda Kaum Betawi, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond dan PPPI. Sugondo Joyopuspito yang bertindak sebagai Ketua Panitia, dalam pidatonya menegaskan betapa pentingnya persatuan “Perangilah pengaruh bercerai berai. Dan majulah terus ke arah Indonesia bersatu yang kita cintai” (Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama Menuju Sumpah Pemuda, 1986). Diskursus kongres berlangsung dinamis, menghadirkan tokoh-tokoh pergerakan seperti; Muhammad Yamin, Nona Purnomowulan, S. Mangunsarkoro, T. Ramelan dan Sunario. Kongres menyetujui dan menegaskan kembali rumusan Kongres Pemuda Indonesia Pertama dengan berubah point ketiga pada kata Melajoe menjadi Indonesia. Rumusan ini kemudian dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”.
Ikrar yang menjadi landasan persatuan nasional, pondasi nasionalisme dari kaum bergerakan tumbuh semakin kokoh dan terus memijarkan semangat untuk bergerak bersama merebut dan memperjuangkan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Kesadaran atas kesamaan nasib itulah yang mendorong terbentuknya konstruksi sosial sebagai sebuah bangsa, bangunan psikologis dimana seseorang membayangkan dirinya bagian atau senasib dengan yang lain dalam komunitas yang sama. Benedict Anderson menyebutnya dengan istilah “Komunitas Terbayang” (Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, 1991).
Suara Perubahan!
Sejarah Indonesia modern adalah sejarah pergerakan kaum muda. Etape-etape penting perjalanan bangsa kita, selalu dilatari dengan peran aktif pemudanya. Gelombang besar gerakan kaum muda sejak era 1908, 1928, 1945. 1948, 1965, 1978, 1998, menjadi bukti sejarah bahwa pemuda-pelajar merupakan pelopor dan pengerak dalam memperjuangkan, mempertahankan hingga mengisi kemerdekaan. Mereka berada di garda terdepan, mengambil tugas sejarah bermodalkan idealisme, gagasan dan keberanian. Kaum muda adalah suara perubahan, agent of social change, senantiasa bergerak korektif jika melihat ketidakadilan, ketimpangan, penyelewangan dan penindasan. Mereka berperan sebagai martir dalam membela kepentingan rakyat dan menjaga marwah bangsa Indonesia. Itulah mengapa Soekarno pernah berucap “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Lalu, bagaimana realitas gerakan kaum muda pasca reforrmasi 1998?. Nampak seperti mengalami disorientasi, gamang dan berserak sehingga kelihatan melemah. Pasca lengsernya rezim orde baru yang menjadi musuh bersama, mereka ‘keranjingan’ euforia, gagal menemu-kenali kembali common enemy dan agenda aksinya. Terlebih dengan tatanan dunia yang mengalami disrupsi luar biasa akibat pandemi covid-19. Harus diakui, tantangan gerakan kaum muda di era demokratisasi tidaklah lebih mudah dibandingkan menghadapi kekuasaan monolitik. Saat ini, mereka harus berhadapan atau menyahuti beragam isu yang terus bergulir dengan cepat. Pada sisi lain, mereka tak cukup resources untuk merespon secara lebih substantif. Bahkan seringkali para tiktoker, selebgram dan youtuber lebih responsif serta memberikan impact signifikan.
Elan vital gerakan kaum muda seperti terbenam, tak kelihatan militansinya sebagai kekuatan protes atau korektif terhadap penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai produk perundang-undangan seperti; Omnibus law, Revisi UU KPK dan terakhir putusan MK tak mendapatkan respon serius dari gerakan kaum muda, sehingga melenggang dengan mudah. Kasus-kasus pengusuran rakyat, perampasan tanah masyarakat oleh korporasi abai untuk dibela. Gerakan kaum muda harus bangkit, menyuburkan kembali idealisme, militansi dan aksinya.
Reorientasi dengan kembali menguatkan agenda reideologisasi, reintelektualisasi dan aksi kerakyatan serta adaptif dengan perkembangan teknologi. Ideologisasi dilakukan agar kaum muda tak hanyut dengan pragmatisme, mudah goyah karena godaan materi sehingga menjadi oportunis. Militansi pembelaan terhadap masyarakat marjinal hilang. Pengayaan atau reproduksi gagasan melalui kegiatan diskusi dihidupkan agar spektrum berpikir menjadi luas. Sense of belonging atas persoalan kerakyatan dan kebangsaan dikuatkan dengan mapping rencana aksi yang terukur dan konkret, tidak sekedar aksi jalanan tetapi juga mengadaptasi teknologi terkini sebagai instrumen gerakan, sehingga memberikan pengaruh signifikan bagi pengambil kebijakan.
Kaum muda memiliki tugas sejarah mengawal perjalanan bangsanya, membawa spirit kebaruan, berpihak pada kaum marjinal dan meluruskan segala penyimpangan kekuasaan!
artikel ini tayang di Harian Fajar: https://harian.fajar.co.id/2023/10/28/menyoal-gerakan-kaum-muda/