Satu dekade belakangan ini, bermunculan tokoh-tokoh muda. Lembaga Economist Intelligence Unit Demokrasi Index yang melakukan riset tentang isu regenerasi politik pada 2022, memposisikan Indonesia di urutan 101 dari 147 negara. Agregat ini, menandakan regenerasi politik di negara kita, belum berbanding lurus dengan predikat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Riset ini mencatatkan rerata usia anggota DPR mencapai 51,6 tahun. Selain, indikator regenerasi politik, EIU juga menerangkan indeks demokrasi bertumbuh baik dibandingkan banyak negara di dunia yang mengalami stagnasi. Rerata skor regional Asia – Australia berada di angka 5,46. Indonesia sendiri masih sama dengan tahun 2021, angkanya 6,72 meningkat dibanding 2020 dengan skor 6,30. (Metrotvnews.com, 2023).
Sedangkan V-Dem Institute yang merilis Democracy Report 2022, mengungkapkan bahwa secara umum terjadi kemunduran kualitas demokrasi di Asia Tenggara yang memungkinkan tumbuhnya rezim otokrasi. Dalam kasus Indonesia, semestinya karakteristik rezim otokrasi atau otoriter, sangat sulit menemukan ruang eksistensinya dengan argumentasi; indeks demokrasi yang relatif bagus serta diterapkannya sistem multi partai, sehingga checks and balances antar entitas kekuasaan bisa diwujudkan.
Kembali pada indeks regenerasi politik Indonesia yang disebutkan di atas, data yang berbanding terbalik dengan tren kepemimpinan politik global yang menampilkan banyak pemimpin muda berbakat. Satu dekade belakangan ini, bermunculan tokoh-tokoh muda di aras global, suatu hal yang wajar karena populasi dunia yang dihuni sekira 55 persen berusia muda, rentang usia kelahiran dari tahun 1981 – 2012, akumulasi dari generasi milineal serta gen-Z.
Figur muda yang muncul dan mendapat perhatian dunia, seperti; Emmanuel Macron, Presiden Prancis (39); Jacinda Arden, Perdana Menteri Selandia Baru (37); Gabriel Boric, Presiden Chile (35); Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia (33); Sebastian Kurz, Kanselir Austria (32); Luigi di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia (31); Gabriel Boric, Presiden Chile (35); Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia (33); Sebastian Kurz, Kanselir Austria (32); Luigi di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia (31); Typhanie Degois dan Ludovic Pajot, keduanya merupakan anggota Parlemen Prancis (24); Mhairi Black, anggota Parlemen Inggris (21).
Di Amerika Serikat ada Alexandria Ocasio-Cortez, anggota Kongres (29); juga yang baru terpilih sebagai Wali Kota St. Louis Park, negara bagian Minnesota, Nadia Mohamed (27), seorang imigran muslim keturunan Somalia. Untuk kawasan Asia, mengemuka nama Pita Limjaroenrat, seorang pengusaha muda lulusan Harvard, pendiri Partai Phak Kao Klai (42).
Spirit Kebaruan
Apa yang menarik ditelaah, dengan tampilnya politisi/pemimpin muda di atas? Jika membaca profil mereka, terlihat mayoritas bukan dari keluarga mapan atau super kaya, pun tidak mewarisi kekuasaan orang tuanya.
Mereka berjuang, berjibaku dengan ikhtiar yang dilakukan secara konsisten dan persisten, rekam gagasan dan karya pengabdian yang memikat masyarakat luas, lalu memilihnya. Ada tiga alasan, yang memberikan reasoning atas fenomena maraknya pemimpin muda di negara demokrasi modern, selain dari agregat populasi.
Yakni; pertama, kultur dan budaya politik yang terbuka, kompetitif dan egaliter. Institusionalisasi politik yang mapan yang dibarengi dengan penegakan hukum yang adil, memberikan ruang bagi setiap individu, apa pun ragam, agama, warna kulit, gender maupun profesinya, untuk terlibat aktif dalam konstestasi politik dan menjadi pemimpin.
Semisal, Nadia Mohamed, politisi Demokrat yang baru saja terpilih sebagai Wali Kota St. Louis Park, Wali Kota termuda di Amerika Serikat, usianya baru 27 tahun, dan menjadi anggota Dewan Kota saat berusia 23 tahun. Yang fenomenal dari seorang Nadia adalah dirinya bisa terpilih dari suatu wilayah di mana posisinya merupakan minoritas, seorang Muslim, muda, kulit hitam dan imigran dari negara miskin.
Kedua, kekuatan gagasan, masyarakat rasional dan well educated, sangat tertarik dengan narasi atau gagasan yang menjadi platform politik calon pemimpinnya, program yang dicanangkan serta tahapan dan variabel terukur untuk mencapainya. Bukan mengandalkan jargon retoris dan asumtif semata.
Ketiga, inovasi teknologi, kemajuan teknologi sangat membantu untuk penyebarluasan informasi, profil, ide, program kerja sekaligus untuk networking, monitoring teamwork bahkan survey. Politisi muda sangat cakap dalam mengadaptasi teknologi, khususnya platform media sosial untuk agenda politiknya.
Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), politisi Demokrat yang juga imigran dari negara latin, dirinya seorang pramusaji di New York, tapi pernah magang di kantor Senator Ted Kennedy saat berkuliah di Boston University. Kecerdasannya membangun narasi, dengan mengangkat isu-isu yang riil dihadapi masyarakat kelas pekerja berpendapatan rendah, ketimpangan akses kesehatan dan pendidikan serta kentalnya politik oligarki, direspon positif oleh publik, banyak yang berkontribusi membantu dana kampanyenya, sejumlah 60 persen berasal dari sumbangan masyarakat.
Narasi dan programnya disebarluaskan melalui aplikasi REACH, media sosial yang didesain untuk kerja politik AOC. Strategi serupa juga dilakukan Pita Limjaroenrat, menggunakan aplikasi zocial eye, Partai Bergerak Maju (Phak Kao Klai) menjadi pemenang mayoritas dengan perolehan suara lebih dari 36 persen.
Sejatinya, Pita menjadi Perdana Menteri Thailand, tetapi kekuatan pro status quo, menyabotase peluang Pita karena gagasan proggresifnya yang dinilai mengancam imunitas kerajaan dan kemapanan militer. Pemimpin muda itu, membawa kebaruan, melewati proses selektif, pendekatan yang out of the box, perspektif visioner serta membumi dengan sikap egaliterian.
Indonesia Bagaimana?
Pascareformasi 1998, prosesi regenerasi politik/pemimpin cukup mengembirakan. Bermunculan figur muda, berkiprah di lembaga Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan BUMN. Ada yang menjadi Menteri, Gubernur, Wali Kota/Bupati, anggota DPR/DPRD, dan direksi di BUMN.
Sayangnya, tokoh-tokoh muda itu, mayoritasnya karena faktor endorsement dari orang tuanya yang menduduki posisi penting di partai politik, pengusaha kaya raya dan atau terafiliasi secara politik kepada penguasa karena posisinya sebagai tim sukses (timses). Belum banyak terlihat, figur muda menjadi trend setter karena gagasan besar, jejak karya dan pengabdian kepada masyarakat.
Secara faktual, Indonesia dapat mengakselerasi regenerasi politik/pemimpin muda karena faktor bonus demografi. Ada sekitar 69 persen penduduk produktif, maknanya, mayoritas dari mereka adalah penduduk berusia muda.
Ada dua agenda yang harus dilakukan agar indeks regenerasi politik kita bisa lebih akseleratif dan meningkat signifikan. Pertama, generasi muda harus memantaskan atau mempersiapkan diri dengan mengasah potensinya, membangun kapasitas intelektualitas, leadership, kreatifitas serta networking.
Membangun rekam jejak dengan karya nyata, pikiran holistik dan memahami literasi teknologi, dan yang tak kalah penting, menginternalisasi nilai etik-moralitas sebagai benteng dalam mengendalikan otoritasnya ketika diberikan amanah oleh rakyat dan negara. Kedua, mendorong perubahan Undang-Undang Nomor 7 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), khususnya Pasal 222, klausul yang mengatur tentang presidential threshold, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR”.
Selain soal ambang batas syarat pencalonan capres dan cawapres, isu tentang dana kampanye yang diatur pada Pasal 325 – 339 dalam UU Pemilu yang menjelaskan tentang sumber, jumlah, proses audit dana kampanye serta konsekwensi hukum. Belum secara tegas memuat tentang pembatasan jumlah dana kampanye, klausul ini penting untuk menjaga fairness dalam kontestasi politik, meminimalisir praktek transaksional serta membatasi peluang oligarki atau pemodal besar mengintervensi kebijakan pemerintah.
Dua Pasal tersebut menjadi barrier bagi lahir dan munculnya pemimpin muda yang fresh, tokoh berintegritas dan visioner, membatasi publik dalam menentukan calon pemimpinnya karena stok yang disiapkan oleh partai politik hanya terkonsentrasi pada figur lama dan atau memiliki modal besar. Olehnya itu, UU Pemilu penting untuk ditata kembali, agar semakin banyak pemimpin-pemimpin muda republik tampil berkontribusi membangun dan memajukan bangsanya.
Pemimpin yang tidak saja muda secara biologis tapi proggresif dalam gagasan, menawarkan kebaruan serta menjunjung tinggi etika. Generasi muda bukanlah mereka yang menyusu pada kekuasaan atau kebesaran orang tuanya, apalagi bertumpu pada cara-cara menyelundupkan hukum.
Artikel ini telah tayang di Republika dengan judul Membincang Regenerasi Pemimpin, https://news.republika.co.id/berita/s49di4282/membincang-regenerasi-pemimpin-part1