banner 728x250
Percik  

Meneladani Pahlawan

banner 468x60

Pidato kenegaraan terakhir Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pada 17 Agusuts 1966, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”, atau disingkat Jas Merah, melegenda.

Ia menjadi relevan sebagai pijakan berpikir dalam merefleksikan betapa pentingnya menapaktilasi perjuangan para pahlawan, menyelami gagasan, kiprah dan pengabdian mereka kepada negara.

banner 325x300

Meskipun kita pahami, pidato Jas Merah dimaksudkan sebagai pembelaan diri sekaligus penolakan Soekarno terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang mendelegitimasi kekuasaannya, keputusan yang memperluas wewenang Surat Perintah 11 1966 (Supersemar).

Instrumen politik yang menjadi entry point pemakzulan Soekarno dari singgasana kepresidenannya.

Soekarno dalam pidato Jas Merah itu, secara tersirat berpesan jangan abai menghormati, mengapresiasi pengorbanan para pendahulu yang telah berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan.

Jangan karena ambisi kekuasaan, sehingga bermanuver dan menelikung.

Faktanya, Soekarno jatuh dan digantikan Soeharto sebagai Pejabat Sementara Presiden melalui sidang MPRS pada 7 Maret 1967.

Terlepas, dari dinamika politik kekuasaan yang melingkupinya.

Seruan Soekarno untuk tidak melupakan sejarah sangat berharga dan menjadi semacam warning, khususnya bagi generasi muda.

Supaya mempelajari kilas balik perjalanan kebangsaan kita.

Sungguh penting mengenali kembali pergumulan para the founding fathers and mothers republik.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, ucap Soekarno.

Dengan mempelajari sejarah, kita dituntun meneropong suatu fakta atau rangkaian peristiwa di masa lalu yang berkontribusi penting dalam mengonstruksi diri kita sebagai entitas masyarakat suatu bangsa.

Cendekiawan par excellence keturunan Prancis, Michel Foucault, menjelaskan bahwa sejarah merupakan konstruksi sosial yang dipenuhi dengan kekerasan politik, kekuasaan yang serakah, serta persekongkolan antara pengetahuan dan kekuasaan.

Sejarah sebagai suatu konstruksi sosial yang terus berkembang dan dikontrol oleh kekuatan yang eksploitatif dan eksploratif, maka perlu di dekonstruksi dengan mengkritisinya secara kontinyu dan mendalam.

Sejarah adalah repetisi, pengulangan dinamika psiko, sosio, politik dan kebudayaan yang bisa kita sederhanakan sebagai pranata sosial di era sebelumnya.

Ia membentuk bangunan sosial baru berdasarkan konteks yang menyertainya, tentu dengan subyek dan obyek yang berbeda.

Jejak Altruisme

Dalam konteks itulah, kita mencoba menjejaki kembali jalan perjuangan dan warisan keteladanan mereka.

Bagaimana etos yang terus berkobar dan tak pernah lekang, meski menghadapi tantangan yang sungguh tidak mudah.

Pengorbanan yang tak terkira, termasuk resiko di penjarakan bahkan kematian.

Mereka tak pernah surut memperjuangkan bangsanya, mewaqafkan dirinya untuk kemaslahatan rakyat serta kedaulatan negara.

Sejarah Indonesia modern yang ditandai dengan pergulatan atau upaya mengokohkan rasa nasionalisme sebagai sebuah nation state.

Dr Wahidin Soedirohusodo menghentak kesadaran kaum muda untuk bergerak bersama melawan kolonialisme, sebab tanpa persatuan yang direkatkan oleh pikiran se-bangsa, se-tanah air dan senasib, maka kemerdekaan hanyalah utopia.

Gelora nasionalisme yang dicetuskan oleh gerakan Boedi Oetomo semakin tertanam kuat dan menginspirasi kaum muda untuk membebaskan diri dari penjajahan, demi menata masa depan yang lebih bermartabat.

Boedi Oetomo, Sarikat Dagang Islam yang berubah menjadi Sarikat Islam dan Sumpah Pemuda merupakan simpul-simpul perjuangan awal yang tumbuh secara organik dan mulai terlembagakan atas dasar sentimen nasionalisme.

Kesadaran sebagai satu kesatuan, kolektifitas atau komunalitas di atas keragaman agama, suku, bahasa dan budaya yang mewujud menjadi negara bangsa.

Pencapaian puncak dari seluruh ikhtiar dalam merebut kemerdekaan yang dilakukan para pendiri bangsa kita adalah ketika deklarasi kemerdekaan yang dituangkan sebagai Proklamasi yang dibacakan oleh dwitunggal Soekarno-Hatta.

Proklamasi merupakan ikrar kebangsaan kepada dunia sebagai penanda lahirnya negara berdaulat, bangsa yang terbebas dari belenggu penjajahan.

Kemerdekaan merupakan perjuangan kolektif dari seluruh elemen bangsa, dipandu oleh tokoh-tokoh pergerakan di zamannya, mereka yang telah selesai dengan dirinya.

Melepaskan segala kepentingan pribadi, keluarga serta kelompok di atas kepentingan masyarakat dan bangsa.

Pahlawan adalah negarawan sejati yang kehidupannya dipenuhi dengan jejak pengabdian.

Keikhlasan mereka merupakan wujud dari altruisme, sikap rela berkorban demi kepentingan yang lebih besar.

Tak bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa kita tanpa perjuangan pahlawan seperti; Dr Wahidin Soedirohusodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo.

Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Cut Nyak Dhien, RA Kartini, Sultan Hasanuddin, Kapitan Pattimura, dan Si Singamangaraja.

Pahlawan yang berjibaku merumuskan falsafah dan konstitusi negara diantaranya; Ir Sukarno, Mohamad Yamin, Mr Soepomo, KRT Wongsonegoro, R Soekardjo, AA Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, Soekiman Wirjosandjojo, Hoessein Djajadiningrat, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Radjiman Wediodiningrat.

Dan termasuk kepeloporan Bung Tomo memimpin perlawanan terhadap tentara sekutu di Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Mengembalikan Kewarasan!

Hari-hari ini, setelah 25 tahun usia reformasi, mimpi tentang Indonesia baru yang maju, sejahtera dan terbebas dari KKN semakin jauh panggang daripada api.

Reformasi telah dibajak, konflik kepentingan secara telanjang di pertontonkan para elit, mereka tanpa menyisahkan rasa malu bertindak sebagai regulator sekaligus eksekutor, instrumen negara digunakan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompoknya sendiri.

Hukum diperalat sebagai senjata kekuasaan untuk memukul lawan politik, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Parahnya lagi, KPK sebagai lembaga anti rasuah yang dulu sangat dipercaya dikebiri, Ketuanya bahkan menjadi terduga tindak pemerasan dan gratifikasi.

Pun lembaga hukum dikangkangi demi ambisi melanggengkan kekuasaan, Mahkamah Konstitusi bermetamorsis menjadi Mahkamah Keluarga, kekonyolan yang tak layak dipertontonkan oleh mereka yang biasa disapa “Yang Mulia”.

Ketimpangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin makin melebar gapnya, utang kian jumbo demi mengejar mimpi infrastruktur yang megah.

Negara dikelola layaknya perseroan terbatas (PT), diatur sesuai kehendak pemegang saham alias oligarki.

Prinsip-prinsip good governance dipinggirkan, kebijakan Presiden bagaikan titah Raja yang mutlak ditunaikan.

Mirip dengan sindiran Gus Mus tentang republik rasa Kerajaan, demokrasi Indonesia sedang di titik nadir, demokrasi yang dikendalikan oleh politisi para penjahat (Anders Uhlin, 2017).

Defisit keteladanan yang ditandai dengan hilangnya integritas, kejujuran, etika dan kian tingginya keserakahan dari para elit, semakin menyebabkan negara kita terperosok ke jurang ketertinggalan, tragis jika hal itu disebabkan karena ulah anak bangsa sendiri.

Peringatan Hari Pahlwan hendaknya tidak sekedar seremoni, tetapi menjadi momentum untuk mereproduksi nilai-nilai substantif yang diwariskan para pahlawan.

Direfleksikan, diinternalisasi dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menghidupkan kesederhanaan sosok Hatta, seorang Wakil Presiden yang tak mampu menunaikan mimpinya membeli sepatu Bally hingga ajal menjemputnya.

Kejujuran seorang Jenderal Hoegeng dan Baharuddin Lopa yang melegenda serta banyak lagi pahlawan dan tokoh-tokoh republik ini yang meninggalkan legacy dan keteladanan.

Tumbuh suburkan jiwa altruisme sebagai jalan kembali menuju kewarasan bernegara di republik yang kita cintai!(*)



Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Meneladani Pahlawan, https://makassar.tribunnews.com/2023/11/08/meneladani-pahlawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *